Tuesday, June 20, 2023
PELATIHAN SERVICE EXCELLENT
UPTD PUSKESMAS ADIPALA I melakukan Pelatihan softskill dan komunikasi efektif dalam menerapkan pelayanan prima (Service excellent).
IN HOUSE TRAINING PPI
Untuk mencapai keberhasilan HAIs UPTD Puskesmas Adipala I menggelar In House Training PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi)
Monday, June 12, 2023
PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN (PMT) BAGI BALITA SUNTING SELAMA 90 HARI
Pemberian Makanan Tambahan adalah program intervensi bagi balita yang menderita kurang gizi dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan status gizi anak serta untuk mencukupi kebutuhan zat gizi anak agar tercapainya status gizi dan kondisi gizi yang baik sesuai dengan umur anak tersebut.
Pemberian Makanan Tambahan ini akan dilakukan selama 90 hari hingga bulan April mendatang dan nantinya akan dilakukan Pentak (Penimbangan Serentak) setiap 15 hari untuk dipantau perkembangan berat badan anak yang stunting.
Wednesday, October 12, 2022
PENGGALANGAN KOMITMEN ERADIKASI FRAMBUSI UPTD PUSKESMAS ADIPALA I
Hai hai healthies Saat ini pemerintah sedang menyiapkan program eradikasi frambusia . Tapi kalian sudah tahu belim si apa itu frambusia ? Frambusia atau biasanya disebut Pathek merupakan suatu jenis penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan bisa menular dari satu orang ke orang lain Kebersihan diri dan lingkungan menjadi salah satu faktor penularan frambusia. Jadi mari terapkan perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah penularan frambusia ya
Monday, June 20, 2022
Mitos, Kesalahpahaman, dan Fakta Mengenai Gangguan Jiwa
Beberapa dekade terakhir, jumlah orang yang didiagnosis gangguan jiwa meningkat pesat. Variasinya mulai dari gangguan depresi, gangguan kecemasan, skizofrenia dan masih banyak lainnya. Organisasi kesehatan dunia (WHO) bahkan melaporkan bahwa 1 dari 4 orang berisiko mengidap penyakit/gangguan jiwa. Masyarakat rata–rata banyak menganggap bahwa orang yang mengidap gangguan jiwa atau gangguan mental emosional hanyalah orang “gila”. Faktanya, orang yang mengalami gangguan jiwa tidak semuanya dapat disebut “gila” secara medis. Secara medis mungkin yang disebut “gila” oleh masyarakat adalah orang-orang yang mengalami gangguan psikotik. Gangguan psikotik adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat membedakan dunia nyata dan dunia khayalnya atau bila pikiran mengalami distorsi berat sehingga pengendalian diri menjadi terganggu. Lalu, apa saja mitos gangguan jiwa yang sering didapat di masyarakat?
1. Gangguan Jiwa Disebabkan Karena Kepribadian yang Lemah
Salah satu mitos gangguan jiwa yang paling sering dijumpai adalah penderita gangguan jiwa yang dianggap sebagai orang dengan kepribadian lemah yang tidak mampu menghadapi masalah. Realitanya, berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa penyakit jiwa dapat terjadi karena pengaruh kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor biologi seperti misalnya aktivitas sel dan kimia alami dalam otak, faktor psikologi seperti trauma emosional, maupun faktor tekanan sosial, budaya dan spiritual. Orang pengidap gangguan jiwa tidak selalu lemah secara mental, sama seperti orang dengan penyakit fisik semacam diabetes atau tekanan darah tinggi misalnya, yang tidak selalu terlihat lemah secara fisik umumnya.
Salah satu contoh adalah Michael Phelps, seorang perenang peraih medali emas terbanyak dalam sejarah Olimpiade, merupakan salah 1 yang berjuang mengatasi gangguan depresi mayor berulang dalam hidupnya, dan pernah menyalahgunakan narkotika untuk mengobati sendiri depresinya sampai pernah ditahan 2 kali sebelum menyadari bahwa ia membutuhkan pertolongan. Pangeran Harry dari Inggris sesudah 20 tahun pasca kematian ibunya baru mencari pertolongan untuk masalah emosi dukanya, saat kondisinya memberat. Kedua orang tersebut bukanlah orang-orang yang lemah. Jadi gangguan jiwa dapat menyerang siapa saja dan kapan saja.
2. Hanya Terjadi Pada Orang Dewasa
Salah satu kesalahpahaman umum adalah bahwa anak-anak dan remaja tidak dapat mengalami gangguan jiwa karena mereka belum memiliki beban dan masalah. Nyatanya, 1 dari 10 anak dan remaja dapat mengalami penyakit jiwa. Michael Phelps yang disebutkan di atas, sejak kecil tercatat sebagai penyandang Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas atau GPPH (ADHD, attention deficit & hyperactivity disorder), dimana kemudian latihan renangnya yang padat dapat menjadi pengganti bagi konsumsi obatnya.
Pada masa kanak, masalah dalam keluarga, sekolah, penggunaan gadget maupun pergaulan juga sering menjadi sebab atau mempengaruhi timbulnya gangguan jiwa pada anak atau remaja, termasuk yang paling ringan misalnya hanya gangguan belajar atau menyelesaikan tugas. Pastikan anak-anak dan remaja mendapatkan pertolongan yang tepat sejak dini agar kondisi tidak memburuk di kemudian hari.
3. Depresi Berarti Sedih
Kesedihan merupakan reaksi normal kala kita mengalami kegagalan maupun kehilangan dalam hidup, dimana terkadang juga disertai reaksi “depresi”, namun kesedihan atau reaksi “depresi” berbeda dengan gangguan depresi oleh karena umumnya masih dapat diatasi oleh yang bersangkutan atau hanya dengan konseling. Depresi sebagai penyakit ditandai terutama oleh kondisi suasana hati atau mood yang tidak nyaman dalam jangka waktu panjang, kumat-kumatan, tidak mesti ada penyebab sebagai pemicu, dan disertai beberapa gejala lain yang bervariasi, dalam derajat ringan sampai berat.
Penderita gangguan depresi sulit merasa senang atau bersemangat terhadap hal-hal yang biasanya disukai. Ucapan seperti, “Jangan depresi terus dong, keluar yuk senang-senang…,” kepada penderitanya berisiko membuat depresi jadi semakin berat. Depresi bukan pilihan mereka dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan usaha bersenang-senang.
4. Pengidap Gangguan Jiwa Pasti Berbahaya
Banyak yang takut pada pengidap gangguan jiwa —terutama yang jelas terlihat berat, kotor, atau tidak terurus— seakan setiap mereka pasti akan berperilaku kriminal. Namun realitanya penyandang gangguan jiwa tidak lebih agresif atau berbahaya daripada orang lain. Memang tidak dipungkiri beberapa jenis gangguan jiwa dapat menyebabkan si individu berbuat kejahatan, namun dari banyak penelitian dikatahui bahwa tidak ada hubungan langsung anttara gangguan jiwa dengan perilaku kriminal. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Inggris menyebutkan hanya 3-5% angka kejahatan yang memang dilakukan oleh seseorang yang menyandang gangguan jiwa. Penelitian ini juga menyebutkan orang dengan gangguan jiwa justru lebih sering menjadi korban kejahatan, bahkan sampai 10 kali lipatnya orang yang bukan penderita.
5. Pengidap Gangguan Jiwa Harus Diasingkan atau Dijauhi
Salah satu mitos gangguan jiwa yang banyak dianut masyarakat adalah mereka harus diasingkan. Hal ini seringkali mengakibatkan diskriminasi di lingkungan tempat tinggal, pekerjaan dan layanan kesehatan. Salah satu sebab adanya pemahaman ini mungkin karena anggapan bahwa gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan atau dikontrol. Padahal faktanya, cukup banyak kasus gangguan jiwa yang terkontrol (dengan obat dan terapi non-obat) dan penyandangnya dapat beraktifitas relatif normal bahkan berprestasi.
Keyakinan bahwa upaya pertolongan gangguan jiwa adalah sia-sia tidak aneh karena beberapa jenis gangguan jiwa memang sulit disembuhkan secara total (ada gejala sisa), namun bukankah begitu juga halnya dengan penyakit fisik? Bukankah orang dengan tekanan darah tinggi misalnya, tetap mengkonsumsi obat rutin dan menjaga pola makan sehat agar tekanan darahnya tidak memburuk? Hal yang sama juga berlaku untuk penyakit jiwa.
Dengan terapi yang tepat, baik berupa obat-obatan maupun psikoterapi bersama tenaga ahli yang berkompeten, penyandang gangguan jiwa juga dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan gejala penyakitnya dapat dikontrol hingga sangat minimal. Diharapkan dengan terapi rutin serta dukungan keluarga yang terapeutik, penyandang gangguan jiwa mampu dan bersemamangat menjalani hidupnya serupa orang normal.
Thursday, January 27, 2022
Wednesday, October 6, 2021
Cegah Stunting dengan Perbaikan Pola Makan, Pola Asuh dan Sanitasi
Sebagian besar masyarakat mungkin belum memahami istilah yang disebut stunting. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Kondisi tubuh anak yang pendek seringkali dikatakan sebagai faktor keturunan (genetik) dari kedua orang tuanya, sehingga masyarakat banyak yang hanya menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal seperti kita ketahui, genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah.
Salah satu fokus pemerintah saat ini adalah pencegahan stunting. Upaya ini bertujuan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan maksimal, dengan disertai kemampuan emosional, sosial, dan fisik yang siap untuk belajar, serta mampu berinovasi dan berkompetisi di tingkat global.
“Terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan stunting, yaitu perbaikan terhadap pola makan, pola asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air bersih”, tutur Menteri Kesehatan RI, Nila Farid Moeloek, di Jakarta (7/4).
Diterangkan Menkes Nila Moeloek, kesehatan berada di hilir. Seringkali masalah-masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah stunting, baik itu masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, serta masalah degradasi lingkungan. Karena itu, ditegaskan oleh Menkes, kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan masyarakat.
1) Pola Makan
Masalah stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan kualitas gizi, serta seringkali tidak beragam.
Istilah “Isi Piringku” dengan gizi seimbang perlu diperkenalkan dan dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, memperbanyak sumber protein sangat dianjurkan, di samping tetap membiasakan mengonsumsi buah dan sayur.
Dalam satu porsi makan, setengah piring diisi oleh sayur dan buah, setengahnya lagi diisi dengan sumber protein (baik nabati maupun hewani) dengan proporsi lebih banyak daripada karbohidrat.
2) Pola Asuh
Stunting juga dipengaruhi aspek perilaku, terutama pada pola asuh yang kurang baik dalam praktek pemberian makan bagi bayi dan Balita.
Dimulai dari edukasi tentang kesehatab reproduksi dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga, hingga para calon ibu memahami pentingnya memenuhi kebutuhan gizi saat hamil dan stimulasi bagi janin, serta memeriksakan kandungan empat kali selama kehamilan.
Bersalin di fasilitas kesehatan, lakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan berupayalah agar bayi mendapat colostrum air susu ibu (ASI). Berikan hanya ASI saja sampai bayi berusia 6 bulan.
Setelah itu, ASI boleh dilanjutkan sampai usia 2 tahun, namun berikan juga makanan pendamping ASI. Jangan lupa pantau tumbuh kembangnya dengan membawa buah hati ke Posyandu setiap bulan.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah berikanlah hak anak mendapatkan kekebalan dari penyakit berbahaya melalui imunisasi yang telah dijamin ketersediaan dan keamanannya oleh pemerintah. Masyarakat bisa memanfaatkannya dengan tanpa biaya di Posyandu atau Puskesmas.
3) Sanitasi dan Akses Air Bersih Rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah akses sanitasi dan air bersih, mendekatkan anak pada risiko ancaman penyakit infeksi. Untuk itu, perlu membiasakan cuci tangan pakai sabun dan air mengalir, serta tidak buang air besar sembarangan.
“Pola asuh dan status gizi sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tua (seorang ibu) maka, dalam mengatur kesehatan dan gizi di keluarganya. Karena itu, edukasi diperlukan agar dapat mengubah perilaku yang bisa mengarahkan pada peningkatan kesehatan gizi atau ibu dan anaknya”, tutupnya.
*Sekilas Mengenai Stunting*
Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia,
juga ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Hal ini dikarenakan anak
stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh
pendek/kerdil) saja, melainkan juga terganggu perkembangan otaknya, yang mana tentu akan sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah,
produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif.
Monday, October 4, 2021
Screening Kesehatan Anak Sekolah Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Generasi Muda
Pembinaan dan pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di sekolah dilaksanakan melalui tiga program pokok yang biasa dikenal sebagai trias UKS meliputi pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan lingkungan kehidupan sekolah sehat. Pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi Screening Kesehatan Anak Sekolah atau dikenal sebagai penjaringan kesehatan, pemantauan kesehatan serta penyuluhan kesehatan.Penjaringan dilakukan setahun sekali pada awal tahun pelajaran terhadap murid kelas satu di SD/RA, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA negeri dan swasta yang dilakukan oleh suatu Tim Penjaringan Kesehatan dibawah koordinasi Puskesmas. Penjaringan kesehatan merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi pengisian kuesioner oleh peserta didik, pemeriksaan fisik dan penunjang oleh tenaga kesehatan bersama sama kader kesehatan remaja dan guru sekolah. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan standar minimal pelayanan bidang kesehatan dan program UKS. Idealnya rangkaian tersebut seharusnya dilaksanakan seluruhnya, namun dalam pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi wilayah setempat.
Pengisian kuesioner oleh siswa didik digunakan untuk mengetahui riwayat kesehatan secara umum, informasi kesehatan keluarga, riwayat imunisasi, gaya hidup, kesehatan intelegensia, kesehatan mental remaja, kesehatan reproduksi dan bahan edukasi kelas konseling. Riwayat kesehatan secara umum diperiksa melalui pengisisn delapan pertanyaan meliputi masalah kesehatan secara umum, alergi terhadap makanan tertentu, alergi terhadap obat tertentu, obat obatan yang sedang dimunim saat ini, riwayat dirawat di rumah sakit, riwayat cedera serius akibat kecelakaan, riwayat pingsan/tidak sadarkan diri dalam satu tahun terakhir dan riwayat penyakit tertentu yang pernah dialami. Riwayat penyakit tertentu yang dimaksud adalah anemia/kurang darah, asma, batuk lama dan berulang, campak, diabetes mellitus, hepatitis, penyakit jantung, kejang, TBC paru, sakit perut berulang dan sakit kepala berulang.
Imunisasi sebagai upaya pemberian antigen untuk meningkatkan kekebalan anak secara aktif dengan cara memberikan suntikan vaksin terhadap tubuh sehingga bila terserang penyakit tidak menjadi sakit atau sakit ringan. Riwayat imunisasi biasanya diperlukan untuk mengetahui kelengkapan data imunisasi peserta didik sejak bayi sampai remaja terhadap antigen tertentu. Apabila peserta didik memperoleh imunisasi lengkap dari sejak bayi hingga dewasa maka akan memperoleh kekebalan seumur hidup.
Kuesioner gaya hidup selain digunakan untuk memilah yang sehat dan tidak diperlukan juga untuk memberikan informasi penggunaan napza. Harapannya pemeriksaan dan penegakan diagnosis tepat waktu dapat memberikan dasar intervensi yang efektif sedini mungkin, sebelum penyimpangan awal perilaku menjadi pola maladaptif yang menetap atau ketergantungan. Masalah gangguan penggunaan napza khususnya rokok dan alkohol merupakan problem yang kompleks yang penatalaksanaaanya melibatkan banyak bidang keilmuan baik medik maupun non medik, karena hal ini merupakan pintu masuk penggunaan napza suntik. Dalam pola tertentu penggunaan jarum suntik dan sex bebas berkaitan erat dengan penularan HIV Aids. Salah satu penyebab gangguan penggunaan napza adalah kurangnya pendidikan dan informasi tentang bahaya napza baik di kalangan orangtua maupun pelajar. UKS diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran untuk mengembangkan pola hidup sehat yang anti napza. Dengan demikian akan tercipta lingkungan sekolah yang menyenangkan, hubungan yang baik antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan orang tua dengan guru. Belajar yang menyenangkan di sekolah akan membantu dan meningkatkan daya tahan siswa terhadap pengaruh pengaruh negatif.
Dalam penjaringan anak sekolah juga dilakukan deteksi dini kesehatan intelegensia remaja sebagai suatu upaya pemeriksaan awal untuk menemukan secara dini adanya gangguan modalitas belajar yang dapat berpotensi mengakibatkan terjadinya kesulitan belajar pada remaja sehingga dapat segera dilakukan tindakan intervensi. Selain itu juga diperoleh pemahaman tentang karakteristik remaja, potensi yang dimiliki, hal hal yang menghambat potensi dan cara mengembangkan potensinya tersebut. Setelah diketahui maka dapat direncanakan upaya peninngkatan kualitas kesehatan intelegensia sehingga remaja tersebut dapat mengoptimalisasikan hasil belajarnya, serta orangtua dan guru dapat memberikan dukungan dan bimbingan sesuai dengan potensi dan cara belajar unik yang dimiliki setiap remaja. Modalitas belajar adalah cara kerja otak kita dalam menyerap, memproses dan menyimpan informasi yang diperoleh melalui panca indera secara optimal. Menurut howard gardner modalitas belajar dapat dikarakteristkkan menjadi modalitas belajar auditory, visual dan kinestetik. Modalitas belajar auditory adalah kemampuan belajar dengan mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar benar menempatkan pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu yang bersangkutan haruslah mendengarkannya terlebih dahulu. Biasanya mereka yang terbatas dalam modalitas ini memiliki kendala untuk berdialog secara langsung karena terlalu rektif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata dan ucapan. Modalitas visual adalah kemampuan belajar dengan menitikberatkan kemampuan menangkap dan menyimpan informasi lewat penglihatan. Artinya bukti bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham. Ciri ciri yang memiliki modalitas visual adalah kebutuhan yang tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum mereka memahaminya. Mereka memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna disamping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap masalah artistik. Mereka yang terbatas dalam modalitas belajar ini umumnya sulit menyerap secara langsung informasi dalam bentuk tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca. Modalitas kinestetik berarti belajar dengan sentuh dan gerak, rasakan, praktik yang melibatkan fisik dan menggunakannya sewaktu belajar. Gaya belajar ini mengharuskan remaja menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Karakter pertama dalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama agar terus mengingatnya, hanya dengan mencoba coba dengan memegang saja seseorang yang optimal dalam modalitas belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya. Individu yang optimal dalam modalitas belajar ini bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik. Kelebihannya mereka memiliki kemampuan mengkoordinasikan sebuah tim disamping kemampuan mengendalikan gerakan tubuh (athletic ability). Karakter kedua tak tahan duduk manis berlama lama mendengarkan penjelasan. Tak heran jika individu yang memiliki gaya belajar ini baru bisa belajar lebih baik jika prosesnya disertai kegiatan fisik.
Deteksi dini masalah kesehatan mental remaja adalah suatu upaya pemeriksaan awal untuk menemukan secara dini adanya masalah kesehatan mental pada remaja. Masalah kesehatan mental remaja meliputi beberapa domain yaitu domain masalah perilaku dan agresifitas, domain masalah emosional, domain masalah dengan teman sebaya, domain masalah interpersonal dan domain masalah dengan napza.
MENGAPA KITA PERLU VAKSINASI COVID -19
Dilansir dari laman Johns Hopkins Medicine, berikut merupakan 12 hal yang dapat dijadikan pertimbangan untuk mengikuti program vaksinasi :
- Pengujian vaksin dilakukan dengan hati-hati
Meskipun dibuat dengan cepat, pengujian vaksin Covid-19 tetap dilakukan dengan cermat oleh para ilmuwan.
- Efek samping vaksin hanya bertahan sementara
Setelah divaksin, Anda mungkin mengalami sakit lengan, nyeri, hingga demam ringan. Gejala-gejala ini merupakan respon alami ketika sistem kekebalan tubuh belajar mengenali virus dan hanya akan berlangsung sementara.
- Melindungi diri dari penyakit
Vaksin dapat melindungi diri kita dari paparan virus Covid-19, termasuk varian Delta. Ketika diberikan sesuai petunjuk, vaksin dapat meminimalisir resiko gejala yang parah.
- Keragaman dalam pengujian vaksin
Uji klinis vaksin telah dilakukan kepada orang kulit hitam, Hispanik, orang tua dan orang dengan kondisi obesitas, diabetes, serta kondisi jantung dan pernapasan. Hal ini dilakukan untuk menilai keamanan dan efektivitas vaksin bagi berbagai kalangan.
- Orang dengan alergi bisa mendapatkan vaksin
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, orang dengan alergi bisa mendapatkan vaksin Covid-19. Jika pernah mengalami reaksi alergi parah terhadap vaksin, pastikan untuk mendiskusikannya terlebih dahulu dengan dokter.
- Orang dengan kulit berwarna rentan terhadap Covid-19
Orang dengan kulit berwarna cenderung rentan terhadap faktor risiko Covid-19. Mendapatkan vaksinasi bisa memberi perlindungan bagi diri sendiri sekaligus orang-orang terkasih.
- Perlindungan ekstra bagi penyintas Covid-19
Sebuah studi yang diterbitkan pada Agustus 2021 menunjukkan bahwa orang yang belum divaksinasi memiliki resiko lebih tinggi untuk terinfeksi ulang. Mendapatkan vaksin akan memberi perlindungan yang lebih besar.
- Vaksin dapat membantu orang di sekitar
Orang tua dan orang dengan penyakit komorbid lebih beresiko terpapar virus Covid-19. Semakin banyak orang yang menerima vaksin, maka semakin cepat pula orang-orang yang rentan terpapar virus merasa aman.
- Meningkatkan peluang untuk kembali normal
Tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi akan berakhir. Meski demikian, semakin banyak orang yang menerima vaksin maka semakin cepat pula kehidupan kembali normal.
- Aman bagi ibu hamil dan menyusui
CDC dan beberapa organisasi kesehatan di dunia telah merekomendasikan seluruh individu yang sedang bersaha untuk hamil, sedang hamil ataupun sedang menyusui agar mengikuti vaksinasi Covid-19.
- Waktu sangat penting
Menunggu terlalu lama untuk divaksinasi memungkinkan virus Covid-19 terus menyebar di tengah masyarakat. Semakin cepat Anda vaksinasi, maka semakin cepat pula Anda terlindungi.
- Lakukan riset
Jika Anda masih ragu terhadap keamanan dan efektivitas vaksinasi Covid-19, cobalah mencari jawaban dari sumber terpercaya. Anda bisa berbicara dengan dokter ataupun orang terdekat yang telah divaksinasi.
Perbedaan 9 jenis vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia

Berikut perbedaan 9 jenis vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia seperti yang dikutip dari indonesiabaik.id:
1. Vaksin Sinovac
Platform: Virus dimatikan
Jumlah dosis: 2 x (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: 28 hari
2. Vaksin AstraZeneca
Platform: Viral vektor
Jumlah dosis: 2 x (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: 12 minggu
3. Vaksin sinoparm
Platform: Virus dimatikan
Jumlah dosis: 2 x (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: 21 hari
4. Vaksin Moderna
Platform: mRNA
Jumlah dosis: 2 x (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: 28 hari
5. Vaksin Pfizer
Platform: RNA-based
Jumlah dosis: 2 x (0,3 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: 21-28 hari
6. Vaksin Novavax
Platform: Protein sub-unit
Jumlah dosis: 2 x (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: 21 hari
7. Vaksin Sputnik-V
Platform: Non-replicating viral vector
Jumlah dosis: 2 x (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: 3 minggu
8. Vaksin Janssen
Platform: Non-replicating viral vector
Jumlah dosis: Dosis tunggal (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: -
9. Vaksin Convidencia
Platform: Non-replicating viral vector
Jumlah dosis: Dosis tunggal (0,5 ml/dosis)
Jeda pemberian dosis: -
Wednesday, September 15, 2021
Thursday, July 1, 2021
Friday, June 25, 2021
Perbedaan PCR, Rapid Test Antigen, dan Rapid Test Antibodi dalam Pemeriksaan COVID-19
Untuk mendeteksi COVID-19, diperlukan pemeriksaan yang disebut PCR dan rapid test. Kedua jenis pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi virus Corona atau tidak. Namun, apa yang membedakan kedua jenis pemeriksaan tersebut?Bila Anda memerlukan pemeriksaan COVID-19, klik tautan di bawah ini agar Anda dapat diarahkan ke fasilitas kesehatan terdekat:
- Rapid Test Antibodi
- Swab Antigen (Rapid Test Antigen)
- PCR
Di rumah sakit, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik dan menelusuri apakah Anda pernah kontak dengan pasien COVID-19 dalam jangka waktu 2 minggu terakhir. Selanjutnya, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang berupa rapid test dan PCR untuk mendiagnosis COVID-19.
Seputar Tes PCR dan Rapid Test
Tes PCR dan rapid test digunakan sebagai cara untuk mendeteksi virus Corona di dalam tubuh. Bagi Anda yang belum tahu mengenai tes PCR dan rapid test, berikut ini adalah penjelasan singkatnya:
Tes Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes PCR adalah jenis pemeriksaan untuk mendeteksi pola genetik (DNA dan RNA) dari suatu sel, kuman, atau virus, termasuk virus Corona (SARS-CoV-2). Hingga saat ini, tes PCR merupakan tes yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mendiagnosis COVID-19.
Tingkat akurasi tes PCR cukup tinggi, tetapi pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama hingga hasilnya keluar, yaitu sekitar 1–7 hari.
Tes PCR umumnya perlu dilakukan pada orang yang mengalami gejala COVID-19, seperti batuk, pilek, demam, terganggunya indra penciuman, serta sesak napas, khususnya jika orang tersebut memiliki riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi COVID-19.
Rapid test
Selain tes PCR, rapid test juga kerap digunakan sebagai pemeriksaan awal atau skrining COVID-19. Sesuai namanya, hasil rapid test bisa langsung diketahui dalam waktu yang singkat, biasanya hanya sekitar beberapa menit atau paling lama 1 jam untuk menunggu hasil pemeriksaan keluar.
Hingga saat ini, terdapat dua jenis rapid test yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus Corona di dalam tubuh pasien, yaitu:
Rapid test antigen
Antigen merupakan suatu zat atau benda asing, misalnya racun, kuman, atau virus, yang dapat masuk ke dalam tubuh. Sebagian antigen dapat dianggap berbahaya oleh tubuh, sehingga memicu sistem imunitas untuk membentuk zat kekebalan tubuh (antibodi). Reaksi ini merupakan bentuk pertahanan alami tubuh untuk mencegah terjadinya penyakit.
Virus Corona yang masuk ke dalam tubuh akan terdeteksi sebagai antigen oleh sistem imunitas. Antigen ini juga dapat dideteksi melalui pemeriksaan rapid test antigen.
Rapid test antigen untuk virus Corona dilakukan dengan mengambil sampel lendir dari hidung atau tenggorokan melalui proses swab. Untuk memberikan hasil yang lebih akurat, pemeriksaan rapid test antigen perlu dilakukan paling lambat 5 hari setelah munculnya gejala COVID-19.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan rapid test antigen virus Corona memiliki tingkat akurasi yang lebih baik dibandingkan rapid test antibodi. Akan tetapi, pemeriksaan rapid test antigen dinilai belum seakurat tes PCR untuk mendiagnosis COVID-19.
Rapid test antibodi
Antigen, termasuk virus Corona, yang masuk ke dalam tubuh dapat terdeteksi oleh sistem imunitas tubuh. Setelah antigen terdeteksi, sistem imun akan memproduksi antibodi untuk memusnahkannya. Keberadaan antibodi untuk membasmi virus Corona bisa dideteksi melalui rapid test antibodi.
Jenis rapid test untuk COVID-19 ini merupakan jenis rapid test yang paling awal muncul. Sayangnya, tes ini memiliki tingkat akurasi yang rendah dalam mendeteksi keberadaan virus Corona di dalam tubuh. Inilah sebabnya rapid test antibodi tidak layak digunakan sebagai metode pemeriksaan untuk mendiagnosis penyakit COVID-19.
Hasil pemeriksaan rapid test antibodi untuk COVID-19 dibaca sebagai reaktif (positif) dan nonreaktif (negatif).
Saat ini, rapid test antigen dan antibodi sudah tersedia di Indonesia. Berdasarkan tingkat ketepatan pemeriksaan, metode pemeriksaan yang dinilai paling akurat untuk mendeteksi keberadaan virus Corona di dalam tubuh adalah rapid test antigen dan tes PCR.
Perbedaan Tes PCR, Rapid Test Antigen, dan Rapid Test Antibodi
Meski saling terkait, pemeriksaan rapid test dan tes PCR merupakan jenis pemeriksaan yang berbeda. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara tes PCR, rapid test antigen, dan rapid test antibodi untuk mendeteksi virus Corona:
1. Lama waktu pemeriksaan
Hasil pemeriksaan rapid test, baik jenis antigen maupun antibodi, membutuhkan waktu yang cukup singkat, yaitu sekitar 30–60 menit. Sementara itu, prosedur tes PCR membutuhkan waktu paling cepat sekitar 1 hari.
Namun, karena begitu banyaknya sampel yang harus diperiksa sementara ketersediaan alat ini terbatas, kadang dibutuhkan waktu hingga sekitar 1 minggu.
2. Tingkat akurasi
Pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi keberadaan virus Corona yang paling akurat adalah tes PCR dengan tingkat akurasi mencapai 80–90%, sedangkan rapid test antigen memiliki tingkat akurasi sedikit di bawah tes PCR.
Rapid test antibodi merupakan pemeriksaan dengan tingkat akurasi paling rendah, yaitu hanya sekitar 18%. Oleh karena itu, diagnosis COVID-19 umumnya baru dapat dipastikan melalui pemeriksaan fisik dan PCR dari dokter. Sementara itu, rapid test dinilai belum layak dilakukan sebagai metode pemeriksaan COVID-19.
3. Sampel yang digunakan
Tes PCR dan rapid test antigen menggunakan sampel lendir dari hidung atau tenggorokan yang diambil melalui proses swab. Sementara itu, pemeriksaan rapid test antibodi menggunakan sampel darah yang diambil dari ujung jari atau pembuluh darah.
Sunday, June 20, 2021
PENGGALANGAN KOMITMEN DAN PENINGKATAN MUTU PELAYANAN PUSKESMAS
Sebagai salah satu upaya untuk mendukung pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan,
melaksanakan kegiatan penggalangan komitmen internal.
Kegiatan penggalangan komitmen dilaksanakan bagi seluruh pegawai yang bertujuan
untuk mendorong peningkatan semangat kerja baik secara individu maupun dalam tim untuk mencapai tujuan puskesmas khususnya dalam mempersiapkan kegiatan re-akreditasi.
OPERASI MASKER
Bersama forkompimcam melaksanakan operasi masker guna mengedukasi warga agar selalu menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah tertularnya COVID-19.









.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)






.jpg)


































































































































